Senin, 25 Juli 2016

Helena Magdalena



Helena Magdalena
Senja memerah memancarkan sinarnya. Menemani perjalanan pulang Helena. Latihan silat memang terlalu menguras tenaga bagi wanita selembut dirinya.
Aku pulang berlainan arah dengannya. Kita memang seperti tidak dibolehkan bersama. Dia adalah barat. Aku adalah timur. Betapa jauhnya jarak antara aku dan dia.
Selalu tentang Helena menghiasi pikiranku hari-hari ini. Hari-hari kemarin juga. Hari-hari esok jangan ditanya.
####
Wanita seperti Helena belum pernah aku temui sebelumnya di padepokan silat Papa Jaja. Padepokan ini hanya menerima laki-laki sebagai muridnya, aku tidak tahu kenapa wanita seperti dia diperbolehkan mengikuti pelatihan. Siapa dia sebenarnya?
Apa mungkin karena padepokan ini kekurangan murid sehingga menerima siapapun murid yang mendaftar, tak terkecuali wanita, seperti Helena. Tidak aneh memang, selain aku, hanya ada lima murid lainnya di padepokan Papa Jaja. Ya, kita hanya enam orang, tujuh dengan Helena. Dari lima orang itu tiga di antaranya adalah anak Kyai Murtadlo, pimpinan padepokan Papa Jaja. Mungkin Helena anak pak Kyai juga? Ah, hidup tidak sesinetron itu.
Jaja adalah salah satu dari tiga anak Kyai Murtadlo. Ya, Jaja memanggil Pak Kyai itu Papa. Jadilah padepokan itu bernama Padepokan Papa Jaja. Lebay memang.
Kyai Murtadlo juga tak kalah sering terkena imbas dibilang lebay oleh orang-orang, bahkan olehku, muridnya sendiri. Bagaimana tidak? Beliau adalah Kyai tapi malah keluar dari ajaran agama. Murtad Loh!
Maafkan muridmu ini, Pak. Namamu jadi bahan gunjinganku tiap hari.
Apalah arti sebuah nama. Begitu Shakespeare berkata. Sepertinya terlalu gegabah jika nama tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Nama sejatinya adalah do’a. Setiap kita diberi nama agar didoakan semoga bisa seperti bagaimana harapan orangtua atas masa depan kita nantinya.
Memang nama hanya sebuah nama. Tapi, tidak salah bukan jika memberi nama yang baik-baik, dipikirkan masak-masak, agar tidak menjadi bahan perbincangan yang buruk di kemudian hari.
Kyai Murtadlo ini sebetulnya memiliki nama yang indah. Abdulloh Ali Murtadlo. Semuanya berasal dari bahasa Arab. Orangtuanya memang pandai berbahasa Arab. Hanya saja alihbahasa dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia kadang memiliki penulisan yang bisa menjadi bahan candaan.
Abdulloh adalah hamba Allah, seorang yang tunduk pada aturan Tuhan sebagaimana layaknya seorang hamba. Ali berarti tinggi, berkedudukan tinggi. Sedangkan Murtadlo bisa diartikan yang direlakan, diridhoi, diikhlaskan. Jadi, orangtuanya berharap agar Abdulloh Ali Murtadlo menjadi seseorang yang tunduk pada perintah Tuhan, derajatnya tinggi dan diridhoi. Bukankah semua akan lebih baik jika Tuhan meridhoi?
###
Oh, iya. Aku mengenalnya ketika pertama kali dia membuka suara memperkenalkan nama, indah nian namanya, Helena Magdalena.
Aku tidak tahu artinya. Makna apa yang tersemat pada namanya. Lebih tepatnya belum tahu. Mungkin nanti setelah tahu, akan aku beritahu. Satu hal yang aku yakini, namanya mungkin berarti indah, cantik, menakjubkan, seperti perawakannya. Bukankah nama itu do’a?
Satu hal yang pasti, namanya bukan berasal dari bahasa Arab. Bahasa yang sering sekali menjadi referensi untuk memberi nama seorang bayi. Mungkin karena nama itu do’a, dan berdo’a sebaiknya menggunakan bahasa Arab, maka banyak orangtua memberikan nama ‘berbau’ Arab kepada anak-anaknya.
Namun, bukankah Tuhan akan mendengar semua do’a dalam berbagai bahasa? Tuhan Maha Mendengar. Dikabulkan tidaknya itu terserah saja pada-Nya.
Namun dari mana nama Helena itu berasal? Dilihat dari perawakannya, sepertinya Helena itu orang Jawa. Sama sepertiku. Ah, kali ini ada juga yang sama antara aku dan dia.
Namun, Helena sepertinya tidak ada dalam primbon Jawa. Terlalu janggal aku rasa. Mungkin orang-orang Jawa sudah terpengaruh budaya luar dalam memberikan nama pada putra-putrinya. Sebagaimana bahasa Arab memberikan pengaruhnya.
###
Langsat kulitnya, teduh pandangnnya. Mataku tak pernah terlewat melihat senyumannya yang memikat.
Latihan sore hari seperti biasa dimulai. Awan mendung. Semesta mendukung. Ah, mendung memang tak berarti hujan. Di bawah langit senja yang mulai malu-malu itu latihan bersamanya untuk pertama kali berlangsung.
Pemanasan.
Peregangan.
Perkuat kuda-kuda.
Kenapa tidak langsung saja aku berduel dengan Helena, pikirku. Atau setidaknya ada duel antara aku dengan teman lainnya agar Helena tahu kepiawaianku melakukan gerakan silat.
Aku sejatinya adalah pemuda yang penakut. Alasanku belajar silat justru adalah karena ketakutanku apabila pada suatu saat, di masa mendatang dihadang segerombolan orang setidaknya aku bisa membela diri. Dengan berlari sekencang-kencangnya, tentu saja. Menjauh dari gerombolan. Ya, aku bukan Jackie Chan. Ini juga bukan film action. Menghindari gerombolan adalah cara paling masuk akal, bukan?
Tangan kanan ke depan sambil dikepal. Tarik tangan kanan ke belakang. Tangan kiri gantian ke depan. Tangan kiri gantian ke belakang. Terus saja seperti itu.
Kaki kanan ke depan. Turunkan dulu. Baru kaki kiri ke depan. Aku tidak menyebutkan kaki kanan ke depan kemudian kaki kiri ke depan. Jatuh!
Latihan hari pertama sejak kedatangan Helena memberikanku semangat baru. Hidup ini indah ternyata, meski aku khawatir, apakah Helena itu tuna wicara sedari tadi aku tidak mendengarnya berbicara. Tapi aku pernah mendengar dia berucap nama, waktu itu. Ah, mungkin dia pemalu. Pendiam. Pendiam yang pemalu.
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar