Helena Magdalena
Senja memerah
memancarkan sinarnya. Menemani perjalanan pulang Helena. Latihan silat memang
terlalu menguras tenaga bagi wanita selembut dirinya.
Aku pulang
berlainan arah dengannya. Kita memang seperti tidak dibolehkan bersama. Dia adalah
barat. Aku adalah timur. Betapa jauhnya jarak antara aku dan dia.
Selalu tentang
Helena menghiasi pikiranku hari-hari ini. Hari-hari kemarin juga. Hari-hari
esok jangan ditanya.
####
Wanita seperti
Helena belum pernah aku temui sebelumnya di padepokan silat Papa Jaja.
Padepokan ini hanya menerima laki-laki sebagai muridnya, aku tidak tahu kenapa
wanita seperti dia diperbolehkan mengikuti pelatihan. Siapa dia sebenarnya?
Apa mungkin
karena padepokan ini kekurangan murid sehingga menerima siapapun murid yang
mendaftar, tak terkecuali wanita, seperti Helena. Tidak aneh memang, selain
aku, hanya ada lima murid lainnya di padepokan Papa Jaja. Ya, kita hanya enam
orang, tujuh dengan Helena. Dari lima orang itu tiga di antaranya adalah anak
Kyai Murtadlo, pimpinan padepokan Papa Jaja. Mungkin Helena anak pak Kyai juga?
Ah, hidup tidak sesinetron itu.
Jaja adalah
salah satu dari tiga anak Kyai Murtadlo. Ya, Jaja memanggil Pak Kyai itu Papa.
Jadilah padepokan itu bernama Padepokan Papa Jaja. Lebay memang.
Kyai Murtadlo
juga tak kalah sering terkena imbas dibilang lebay oleh orang-orang, bahkan olehku, muridnya sendiri. Bagaimana
tidak? Beliau adalah Kyai tapi malah keluar dari ajaran agama. Murtad Loh!
Maafkan muridmu
ini, Pak. Namamu jadi bahan gunjinganku tiap hari.
Apalah arti
sebuah nama. Begitu Shakespeare berkata. Sepertinya terlalu gegabah jika nama
tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Nama sejatinya adalah do’a. Setiap kita
diberi nama agar didoakan semoga bisa seperti bagaimana harapan orangtua atas
masa depan kita nantinya.
Memang nama
hanya sebuah nama. Tapi, tidak salah bukan jika memberi nama yang baik-baik,
dipikirkan masak-masak, agar tidak menjadi bahan perbincangan yang buruk di
kemudian hari.
Kyai Murtadlo
ini sebetulnya memiliki nama yang indah. Abdulloh Ali Murtadlo. Semuanya
berasal dari bahasa Arab. Orangtuanya memang pandai berbahasa Arab. Hanya saja
alihbahasa dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia kadang memiliki
penulisan yang bisa menjadi bahan candaan.
Abdulloh adalah
hamba Allah, seorang yang tunduk pada aturan Tuhan sebagaimana layaknya seorang
hamba. Ali berarti tinggi, berkedudukan tinggi. Sedangkan Murtadlo bisa
diartikan yang direlakan, diridhoi, diikhlaskan. Jadi, orangtuanya berharap
agar Abdulloh Ali Murtadlo menjadi seseorang yang tunduk pada perintah Tuhan,
derajatnya tinggi dan diridhoi. Bukankah semua akan lebih baik jika Tuhan
meridhoi?
###
Oh, iya. Aku
mengenalnya ketika pertama kali dia membuka suara memperkenalkan nama, indah
nian namanya, Helena Magdalena.
Aku tidak tahu
artinya. Makna apa yang tersemat pada namanya. Lebih tepatnya belum tahu.
Mungkin nanti setelah tahu, akan aku beritahu. Satu hal yang aku yakini,
namanya mungkin berarti indah, cantik, menakjubkan, seperti perawakannya.
Bukankah nama itu do’a?
Satu hal yang
pasti, namanya bukan berasal dari bahasa Arab. Bahasa yang sering sekali
menjadi referensi untuk memberi nama seorang bayi. Mungkin karena nama itu
do’a, dan berdo’a sebaiknya menggunakan bahasa Arab, maka banyak orangtua
memberikan nama ‘berbau’ Arab kepada anak-anaknya.
Namun, bukankah
Tuhan akan mendengar semua do’a dalam berbagai bahasa? Tuhan Maha Mendengar.
Dikabulkan tidaknya itu terserah saja pada-Nya.
Namun dari mana
nama Helena itu berasal? Dilihat dari perawakannya, sepertinya Helena itu orang
Jawa. Sama sepertiku. Ah, kali ini ada juga yang sama antara aku dan dia.
Namun, Helena
sepertinya tidak ada dalam primbon Jawa. Terlalu janggal aku rasa. Mungkin
orang-orang Jawa sudah terpengaruh budaya luar dalam memberikan nama pada
putra-putrinya. Sebagaimana bahasa Arab memberikan pengaruhnya.
###
Langsat kulitnya, teduh
pandangnnya. Mataku tak pernah terlewat melihat senyumannya yang memikat.
Latihan sore hari seperti biasa
dimulai. Awan mendung. Semesta mendukung. Ah, mendung memang tak berarti hujan.
Di bawah langit senja yang mulai malu-malu itu latihan bersamanya untuk pertama
kali berlangsung.
Pemanasan.
Peregangan.
Perkuat kuda-kuda.
Kenapa tidak langsung saja aku
berduel dengan Helena, pikirku. Atau setidaknya ada duel antara aku dengan teman
lainnya agar Helena tahu kepiawaianku melakukan gerakan silat.
Aku sejatinya adalah pemuda yang
penakut. Alasanku belajar silat justru adalah karena ketakutanku apabila pada
suatu saat, di masa mendatang dihadang segerombolan orang setidaknya aku bisa
membela diri. Dengan berlari sekencang-kencangnya, tentu saja. Menjauh dari
gerombolan. Ya, aku bukan Jackie Chan. Ini juga bukan film action. Menghindari gerombolan adalah cara paling masuk akal,
bukan?
Tangan kanan ke depan sambil
dikepal. Tarik tangan kanan ke belakang. Tangan kiri gantian ke depan. Tangan
kiri gantian ke belakang. Terus saja seperti itu.
Kaki kanan ke depan. Turunkan
dulu. Baru kaki kiri ke depan. Aku tidak menyebutkan kaki kanan ke depan
kemudian kaki kiri ke depan. Jatuh!
Latihan hari pertama sejak
kedatangan Helena memberikanku semangat baru. Hidup ini indah ternyata, meski
aku khawatir, apakah Helena itu tuna wicara sedari tadi aku tidak mendengarnya
berbicara. Tapi aku pernah mendengar dia berucap nama, waktu itu. Ah, mungkin
dia pemalu. Pendiam. Pendiam yang pemalu.
###